Rabu Abu: Peziarahan menuju Pertobatan

Katekese

Salam. Saudara, masa puasa dibuka dengan Hari Rabu abu atau Ash Wednesday yang merupakan tradisi Gereja yang berasal dari tradisi alkitabiah. Mengapa hari rabu? Gereja katolik menerapkan puasa selama 6 hari dalam seminggu, maka masa puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40 hari. Dengan demikian hari pertama puasa jatuh pada hari rabu. Jadi, penentuan awal masa puasa pada hari rabu disebabkan karena perhitungan 40 hari sebelum hari minggu paskah, tanpa menghitung hari minggu.

Tradisi menaburkan abu atau debu di atas kepala merupakan lambang penyesalan dan tobat (Why. 18:19). Abu merupakan tanda pertobatan sekaligus tanda yang mengingatkan umat manusia asalnya yakni dari debu tanah (Kej.2:7). Kitab suci memberikan kisah juga mengenai pertobatan Niniwe (Yun.3:6) Tradisi ini dilakukan  dengan cara menaburkan abu di atas kepala yang  kemudian (tidak lagi banyak dilakukan) sekarang abu di oleskan di dahi dengan membentuk salib. Praktek ini dilakukan sebelum memasuki masa prapaskah sebagai perwujudan pemberian diri untuk bertobat dan menyambut Sang Sumber Pertobatan. Saat mengoleskan abu di dahi imam mengucapkan, ”Bertobatlah dan percayalah  injil” atau,”kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu”.

Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari zaman perjanjian lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal/tobat. Beberapa contohnya seperti dalam kitab Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunhu semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est. 4:1), pada abad ke-5 SM, sesudah  Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun. 3:5-6).  Yesus sendiri menyinggung soal abu bahwa  kota-kota  yang menolak mukjizat meski telah menyaksikannya dan mendengar injil maka tanggung kota itu akan lebih berat dari Tirus dan Sidon (bdk. Mat. 11:21). Gereja perdana pun mewariskannya untuk alas an yang sama. Tertulianus  menulis bahwa pendosa yang bertobat harus hidup tanpa bersenang-senang denga  mengenakan kain kabung dan abu. Pada abab pertengahan dalam praktek kristiani, mereka yang telah meninggal dibaringkan  di tanah di tatas kain kabung dan diperciki abu. Ritual perayaan Rabu Abu ini pun ditemukan dalam edisi Gregorian Sacramenty yang diterbitkan pada abad ke-8.

Liturgi pada masa sekarang dalam Rabu Abu, kita menggunakan abu yang berasal dari hasil pembakaran daun-daun palma pada minggu palma tahun lalu. Abu tersebut diberkati oleh imam sebelum dioleskan pada dahi umat. Abu yang kita terima tidak dioleskan pada tangan yang dapat disembunyikan tetapi pada dahi yang tak bisa kita lihat secara langsung, maka ini memberikan pengertian kepada kita bahwa kita sulit dengan jelas melihat kelemahan diri kita sendiri. Dari situlah baiklah bagi kita untuk merefleksikan betapa kita kurang melihat diri kita dan sibuk dengan kelemahan orang lain. Hari Rabu Abu ini merupakan awal peziarahan kita menuju pertobatan sejati dan kita diajak juga untuk berpuasa dan berpantang sebagai wujud penyerahan diri pada Allah Sang Maharahim dan memandang kemuliaan serta kejayaanNya yang dengan hati yang bersih dan wajah bersinar. Selamat Memasuki Masa Puasa, masa penuh berkat bagi kita semua.

 

Sumber: A Dictionary of the Bible oleh W. R. F. Browning; Litterae Circulares de Festis Paschalibus Praeparandis et Celebrandis  (Perayaan Paskah dan Persiapannya); Tulisan oleh P. William P. Saunders dan P. Tarsis Sigho, SVD dikutip dari  http://www.indocell.net/yesaya/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *